Sabtu, 31 Maret 2012

Kenaikan harga BBM, Haruskan Terulang Kembali…???


Oleh: Rinaldo Adi Pratama

Kenaikan harga BBM, Haruskan Terulang Kembali…???


Apabila kita ingat kembali kebelakang pada masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mencakup dua periode sudah mengalami tiga kali kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), walaupun memang harga BBM tersebut kembali lagi turun ke angka semula dan sekarang pemerintah berniat untuk melaksanakan kebijakan  kehaikan harga BBM seharga Rp 2000,- dengan alih-alih untuk mengurangi beban subsidi pada APBN negara.
Kebijakan pemerintah dalam menaikan harga BBM haln ini tentu saja karna ketakutan pemerintah akibat harga minyak dunia yang sangat fluktuatif dan tidak dapat di prediksi. Dalam APBN Indonesia tahun anggaran 2012 pemerintah menyisihkan dana anggarannya untuk mensubsidi rakyat dalam hal bahan bakar  sebesar 132 Triliun dan berkilah akan habis anggaran tersebut pada bulan Agustus (republika. 12/03/31). Angka itu akan sangat membebani pemerintah apabila pemerintah tetap tidak menaikan harga BBM mengikuti naiknya harga minyak dunia atau mengurangi subsidi BBM tersebut.
Pertanyaan yang timbul dari kebijakan yang akan di ambil oleh pemerinyah yaitu bagaimana mungkin bisa pemerintah menyerahkan harga minyak begitu saja kedalam sistim perdagangan global? Apakah pemerintah berfikir bahwa sistim ekonomi yang dianut kita liberal murni, tentu saja bukan. Seharusnya pemerintah lebih arif dan bijaksana dalam menyikapi harga minyak dunia yang terus mengalami fluktuasi tersebut. Mungkin saja pemerintah bisa mengambil kebijakan atau opsi lain dalam menghadapi kenaikan harga minyak dunia ini. Salah satu cara yang bisa dilakukan oleh pemerintah yaitu dengan jalan memangkas anggaran kunjungan kerja DPR yang mencapai 482 Miliar untuk anggaran 2012, angka tersebut meningkat dari tahun lalu yang mana untuk tahun ini mengalami kenaikan sebesar 183 Miliar (Tribunews, 30 jan 2012). Andai saja kenaikan anggaran tersebut di masukan saja dalam subsidi bahan bakar dalam keadaan seperti ini mungkin pemerintah tak perlu mengeluarkan opsi untuk menaikan harga BBM. Dan apabila dilihat dari esensinya lebih utama melayani rakyat daripada menyiapkan anggaran kunjungan kerja keluar negeri bagi DPR yang sampai sekarang dari kunjungan itu rakyat tak pernah merasakan hasilnya.

Jumat, 30 Maret 2012

BUDIDAYA TANAMAN TEBU DI PULAU JAWA MASA TANAM PAKSA





BUDIDAYA TANAMAN TEBU DI PULAU JAWA MASA TANAM PAKSA

OLEH: RINALDO ADI PRATAMA


A.    Pendahuluan
            Pada pertengahan abad ke-19 merupakan periode sejarah di Hindia Belanda yang ditandai dengan eksploitasi kolonial yang begitu meluas. Eksploitasi kolonial di Hindia Belanda pada akhir abad ke-19 disebabkan oleh adanya pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat sebagai dampak dari adanya pembukaan lahan perkebunan terutama perekebunan kopi dan tebu. Pertumbuhan ekonomi sesungguhnya sudah mulai nampak sejak pemerintah Hindia Belanda melaksanakan kebijakan Sistem Tanam Paksa.
Pembangunan ekonomi yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda antara tahun 1830 sampai pertengahan abad ke-19 mereka menamakannya dengan cultuurstelsel. Dalam penamaan  Indonesia yang tradisional istilah itu diganti menjadi “Tanam Paksa” yang menonjolkan aspek normatif dari sistem tersebut yakni kesengsaraan dan penderitaan rakyat yang diakibatkan oleh penerapan sistem tersebut.
            Kebijakan sistim tanam paksa ini sendiri merupakan gagasan dari Johanes Van Den Bosch yang mana tujuan dari pelaksanaan ini adalah untuk menutupi kekosongan kas Pemerintah Belanda yang pada masa itu mengalami defisit karena banyaknya hutang oleh VOC dan juga banyak terjadi pemberontakan oleh Belgia yang mencoba memisahkan diri dari Belanda dan juga di Jawa terdapat perlawanan dari Pangeran Diponegoro terhadap koloni Belanda di Pulau Jawa.
            Dengan adanya kejadian seperti itu semakin membuat pemerintah Belanda berniat menjalankan rancangan yang diajukan oleh Van Den Bosch untuk menerapkan Tanam Paksa di Pulau Jawa. Yang terkenal di Jawa pada masa Cultuurstelsel adalah Preanger Stelsel di Jawa Barat yaitu penanaman kopi dan tebu di wilayah Cirebon, Jawa tengah dan Jawa Timur. Adanya stelsel tebu yang diterapkan pemerintah kolonial terhadap tanah yang ada di Jawa membuat rakyat pribumi menjadi sangat sengsara dan mengalami kelaparan yang sangat hebat akibat pelaksanaan tanam tebu tersebut.

B. Pelaksanaan Penanaman Tebu Di Jawa
Tanam paksa atau Cultuurstelsel adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch yang mewajibkan setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor khususnya kopi, tebu, nila. Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak. Pada prakteknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktek culturstelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian.
Dibawah kepemimpinan Gubernur Jendral Johanes Van Den Bosch pada tahun 1830 di Pulau Jawa di terapkan sistim tanam paksa untuk yang pertama kalinya. Van Den Bosch menjadikan pulau Jawa sebagai basis produksi tanaman ekspor yang mana hal ini bertujuan untuk mendatangkan keuntungan yang besar bagi pemerintah Belanda untuk mengisi kekosongan kas negara.
Hasil pertanian yang dilakukan oleh petani pribumi akan di olah hingga bentuk jadi yang lain oleh karena itulah pada masa itu sudah terjadi diferensiasi dalam bidang hasil produksi. Dan para petani pun di paksa untuk menanam tanaman wajib untuk ekspor.
Pada masa tanam paksa terdapat beberapa jenis tanaman pasar yang komoditasnya laku di pasar Eropa diantaranya adalah gula yang menjadi primadona setelah kopi dan teh dikenal oleh masyarakat Eropa pada masa monopoli oleh VOC, hal ini pun memaksa pemerintah Belanda untuk memperluas perkebunan yang ada. diantaranya:
Gula 32.722 bahu
Nila 22.141 bahu
Teh 324 bahu
Tembakau 286 bahu
Kayu manis 30 bahu
Kapas 5 bahu
Dilihat dari catatan diatas bahwa penenaman tebu pada masa awal tanam paksa sudah sangat diproduksi secara besar besaran. Khusus untuk penanaman tebu, maka di daerah-daerah gula seluruhnya terdapat 484.000 bahu tanah rakyat yang mana itu kira –kira setengah dari sawah yang ada. (Burger, 1962). Sedangkan untuk penanman produksi pangan sendiri yaitu beras tidak begitu diperhatikan maka dari itu pada pertengahan masa tanam paksa terjadi kelaparan yang luar biasa di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.   
Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun melambung. Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850. Sistem tanam paksa yang kejam ini, setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi diluar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915.
Jenis tanah yang dibutuhkan juga berbeda-beda untuk masing-masing tanaman. Tebu (untuk gula) memerlukan tanah persawahan yang baik, karena tebu membutuhkan irigasi yang lancar. Tetapi kopi justru memerlukan tanah yang agak tandus (woeste gronden). Yang tidak dapat digunakan untuk persawahan, terutama dilereng-lereng gunung. Indigo membutuhkan daerah yang padat penduduknya. Pada dasarnya sistem ini membawa perubahan pada sistem pemilikan tanah. Karena penyelenggaraannya dilakukan per desa, maka tanah-tanah juga dianggap milik desa, bukan milik perorangan (Fasseur, 1992).

Dalam jangka waktu yang sepuluh tahun gula telah berhasil diusahakan di 13 karesidenan. Pusatnya terutama di Jawa Timur, yaitu karesidenan-karesidenan Surabaya, Pasuruan, dan Basuki (dalam tahun 1840 produksi dari wilayah ini mencapai hampir 65%). Selain itu terdapat gula pula dikaresidenankaresidenan Japara, Semarang, Pekalongan, dan Tegal (Jawa Tengah) dan Cirebon (Jawa Barat).
Dalam penyelenggaraan cultuurstelsel pihak Belanda berusaha agar sedapat mungkin tidak berhubungan langsung dengan petani. Sebab itu penyelenggaraannya diserahkan kepada para bupati dengan para kepala desa, dan masyarakat desa sendiri. Kepentingan pemerintah hanya pada hasilnya, yang dihitung dalam pikol (+ 62 kg) yang diterima oleh gudang-gudang pemerintah.
Tugas petani bukan sekedar menanam, tetapi juga memproses hasil panennya untuk diserahkan di gudang-gudang pemerintah. Pengangkutannya ke gudang-gudang tersebut adalah tugas petani pula. Terutama produksi kopi seluruhnya dalam tangan petani, dalam hal gula muncul pula pabrik-pabrik guna yang dikelola secara modern dengan modal asing (Fasseur, 1993).
permodalan yang digunakan untuk pabrik-pabrik gula yang dikelola pihak swasta datangnya justru dari berbagai pihak di Jawa sendiri, seperti halnya para pensiunan pegawai negeri, perusahaan ekspor impor, dan sudah barang tentu para saudagar Cina yang telah lebih dulu memiliki modal yang cukup. Jika teori tersebut benar, maka dapat disimpulkan bahwa moneterisasi memang telah berlangsung jauh sebelum cultuur stelsel diterapkan. Ini berarti bahwa terhadap ekonomi uang masyarakat pedesaan, sistem tanam paksa tidak begitu banyak berdampak.
C.    Kesimpulan
Pada abad ke-19 di jawa merupakan basis produksi tanaman ekspor oleh pemerintah Belanda. Yang mana pihak colonial memanfaatkan tenaga rakyat yang masih memiliki ikatan feodal untuk menjadi tenaga bebas dan tenaga wajib.
Pulau jawa dijadikan ladang penanaman utama dalam sistim yang di cetuskan oleh Gubernur Jendral Johanes Van Den Bosch yaitu Cultuurstelsel atau istilah Indonesia nya yaitu Sistim Tanam Paksa. Di Jawa para petani dipaksa memanam Tebu sebagai tanaman pokok ekspor karena pada masa itu gula merupakan barang yang sangat dibutuhkan di pasar Eropa. Tanpa memperhatikan kesengsaraan rakyat pribumi pemerintah colonial pun memekasakan untuk menanam hingga memanen tebu oleh tenaga petani dan hasilnya pun sangat memuaskan bagi pemerintah Belanda hingga dapat menutup kekosongan kas negara sedangkan bencana kelaparan terjadi di Pulau Jawa pada abad ke-19.

Daftar Pustaka


Aman. (2007) . Sejarah Indonesia Abad Ke-19 Penerapan Dan Dampak Sistem Tanam Paksa 1830-1870. Yogjakarta.

Burger, D. (1962). Sedjarah Ekonomis-Sosologis Indonesia. Jakarta: Negara Pradnjaparamita.

C. Fasseur, (1975). Kultuurstelsel en Koloniale Baten: De Nederlandse Exploitatie Van Java 1840-1860. Leiden: University Press.

Mulyana,Agus. (2006). KULI DAN ANEMER ; Keterlibatan Orang Cina Dalam Pembangunan Jalan Kereta Api Di Priangan (1878-1924). Makalah disajikan dalam Konferensi Nasional Sejarah Ke VIII yang dilaksanakan oleh Direktorat Sejarah dan Nilai Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, Jakarta 14- 17 November 2006.

Vlekke, Bernard.H.M, (2008). Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.