BUDIDAYA TANAMAN TEBU DI PULAU JAWA MASA TANAM PAKSA
OLEH: RINALDO ADI PRATAMA
A.
Pendahuluan
Pada
pertengahan abad ke-19 merupakan periode sejarah di Hindia Belanda yang
ditandai dengan eksploitasi kolonial yang begitu meluas. Eksploitasi kolonial
di Hindia Belanda pada akhir abad ke-19 disebabkan oleh adanya pertumbuhan
ekonomi yang semakin meningkat sebagai dampak dari adanya pembukaan lahan
perkebunan terutama perekebunan kopi dan tebu. Pertumbuhan ekonomi sesungguhnya
sudah mulai nampak sejak pemerintah Hindia Belanda melaksanakan kebijakan
Sistem Tanam Paksa.
Pembangunan ekonomi yang dilakukan pemerintah
kolonial Belanda antara tahun 1830 sampai pertengahan abad ke-19 mereka
menamakannya dengan cultuurstelsel. Dalam penamaan Indonesia yang tradisional istilah itu diganti
menjadi “Tanam Paksa” yang menonjolkan aspek normatif dari sistem tersebut
yakni kesengsaraan dan penderitaan rakyat yang diakibatkan oleh penerapan
sistem tersebut.
Kebijakan sistim tanam paksa ini
sendiri merupakan gagasan dari Johanes Van Den Bosch yang mana tujuan dari
pelaksanaan ini adalah untuk menutupi kekosongan kas Pemerintah Belanda yang
pada masa itu mengalami defisit karena banyaknya hutang oleh VOC dan juga
banyak terjadi pemberontakan oleh Belgia yang mencoba memisahkan diri dari
Belanda dan juga di Jawa terdapat perlawanan dari Pangeran Diponegoro terhadap
koloni Belanda di Pulau Jawa.
Dengan adanya kejadian seperti itu
semakin membuat pemerintah Belanda berniat menjalankan rancangan yang diajukan
oleh Van Den Bosch untuk menerapkan Tanam Paksa di Pulau Jawa. Yang terkenal di
Jawa pada masa Cultuurstelsel adalah Preanger Stelsel di Jawa Barat yaitu
penanaman kopi dan tebu di wilayah Cirebon, Jawa tengah dan Jawa Timur. Adanya
stelsel tebu yang diterapkan pemerintah kolonial terhadap tanah yang ada di
Jawa membuat rakyat pribumi menjadi sangat sengsara dan mengalami kelaparan
yang sangat hebat akibat pelaksanaan tanam tebu tersebut.
B. Pelaksanaan Penanaman Tebu Di Jawa
Tanam paksa atau
Cultuurstelsel adalah peraturan yang dikeluarkan oleh
Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch yang mewajibkan setiap desa harus
menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor khususnya
kopi, tebu, nila. Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial
dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah
kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam
setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak. Pada
prakteknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah
pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan
Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktek culturstelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki
lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian.
Dibawah kepemimpinan Gubernur Jendral Johanes Van
Den Bosch pada tahun 1830 di Pulau Jawa di terapkan sistim tanam paksa untuk
yang pertama kalinya. Van Den Bosch menjadikan pulau Jawa sebagai basis
produksi tanaman ekspor yang mana hal ini bertujuan untuk mendatangkan
keuntungan yang besar bagi pemerintah Belanda untuk mengisi kekosongan kas
negara.
Hasil pertanian yang dilakukan oleh petani pribumi
akan di olah hingga bentuk jadi yang lain oleh karena itulah pada masa itu
sudah terjadi diferensiasi dalam bidang hasil produksi. Dan para petani pun di
paksa untuk menanam tanaman wajib untuk ekspor.
Pada
masa tanam paksa terdapat beberapa jenis tanaman pasar yang komoditasnya laku
di pasar Eropa diantaranya adalah gula yang menjadi primadona setelah kopi dan
teh dikenal oleh masyarakat Eropa pada masa monopoli oleh VOC, hal ini pun
memaksa pemerintah Belanda untuk memperluas perkebunan yang ada. diantaranya:
Gula
32.722 bahu
Nila
22.141 bahu
Teh
324 bahu
Tembakau
286 bahu
Kayu
manis 30 bahu
Kapas
5 bahu
Dilihat
dari catatan diatas bahwa penenaman tebu pada masa awal tanam paksa sudah
sangat diproduksi secara besar besaran. Khusus untuk penanaman tebu, maka di
daerah-daerah gula seluruhnya terdapat 484.000 bahu tanah rakyat yang mana itu kira
–kira setengah dari sawah yang ada. (Burger, 1962). Sedangkan untuk
penanman produksi pangan sendiri yaitu beras tidak begitu diperhatikan maka
dari itu pada pertengahan masa tanam paksa terjadi kelaparan yang luar biasa di
daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin
berkurang, dan harganya pun melambung. Pada tahun 1843, muncul bencana
kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun
1850. Sistem tanam paksa yang kejam ini, setelah mendapat protes keras dari berbagai
kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman
kopi diluar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915.
Jenis tanah yang dibutuhkan juga berbeda-beda untuk
masing-masing tanaman. Tebu (untuk gula) memerlukan tanah persawahan yang baik,
karena tebu membutuhkan irigasi yang lancar. Tetapi kopi justru memerlukan
tanah yang agak tandus (woeste gronden). Yang tidak dapat digunakan
untuk persawahan, terutama dilereng-lereng gunung. Indigo membutuhkan daerah yang
padat penduduknya. Pada dasarnya sistem ini membawa perubahan pada sistem
pemilikan tanah. Karena penyelenggaraannya dilakukan per desa, maka tanah-tanah
juga dianggap milik desa, bukan milik perorangan (Fasseur, 1992).
Dalam
jangka waktu yang sepuluh tahun gula telah berhasil diusahakan di 13 karesidenan.
Pusatnya terutama di Jawa Timur, yaitu karesidenan-karesidenan Surabaya,
Pasuruan, dan Basuki (dalam tahun 1840 produksi dari wilayah ini mencapai
hampir 65%). Selain itu terdapat gula pula dikaresidenankaresidenan Japara,
Semarang, Pekalongan, dan Tegal (Jawa Tengah) dan Cirebon (Jawa Barat).
Dalam penyelenggaraan cultuurstelsel pihak
Belanda berusaha agar sedapat mungkin tidak berhubungan langsung dengan petani.
Sebab itu penyelenggaraannya diserahkan kepada para bupati dengan para kepala
desa, dan masyarakat desa sendiri. Kepentingan pemerintah hanya pada hasilnya, yang
dihitung dalam pikol (+ 62 kg) yang diterima oleh gudang-gudang pemerintah.
Tugas petani bukan sekedar menanam, tetapi juga
memproses hasil panennya untuk diserahkan di gudang-gudang pemerintah.
Pengangkutannya ke gudang-gudang tersebut adalah tugas petani pula. Terutama
produksi kopi seluruhnya dalam tangan petani, dalam hal gula muncul pula
pabrik-pabrik guna yang dikelola secara modern dengan modal asing (Fasseur,
1993).
permodalan yang digunakan untuk pabrik-pabrik gula
yang dikelola pihak swasta datangnya justru dari berbagai pihak di Jawa sendiri,
seperti halnya para pensiunan pegawai negeri, perusahaan ekspor impor, dan
sudah barang tentu para saudagar Cina yang telah lebih dulu memiliki modal yang
cukup. Jika teori tersebut benar, maka dapat disimpulkan bahwa moneterisasi
memang telah berlangsung jauh sebelum cultuur stelsel diterapkan. Ini
berarti bahwa terhadap ekonomi uang masyarakat pedesaan, sistem tanam paksa
tidak begitu banyak berdampak.
C. Kesimpulan
Pada abad ke-19 di jawa merupakan basis produksi
tanaman ekspor oleh pemerintah Belanda. Yang mana pihak colonial memanfaatkan
tenaga rakyat yang masih memiliki ikatan feodal untuk menjadi tenaga bebas dan
tenaga wajib.
Pulau jawa dijadikan ladang penanaman utama dalam
sistim yang di cetuskan oleh Gubernur Jendral Johanes Van Den Bosch yaitu Cultuurstelsel atau istilah Indonesia
nya yaitu Sistim Tanam Paksa. Di Jawa para petani dipaksa memanam Tebu sebagai
tanaman pokok ekspor karena pada masa itu gula merupakan barang yang sangat
dibutuhkan di pasar Eropa. Tanpa memperhatikan kesengsaraan rakyat pribumi
pemerintah colonial pun memekasakan untuk menanam hingga memanen tebu oleh
tenaga petani dan hasilnya pun sangat memuaskan bagi pemerintah Belanda hingga
dapat menutup kekosongan kas negara sedangkan bencana kelaparan terjadi di
Pulau Jawa pada abad ke-19.
Daftar
Pustaka
Aman. (2007) .
Sejarah Indonesia Abad Ke-19 Penerapan
Dan Dampak Sistem Tanam Paksa 1830-1870. Yogjakarta.
Burger, D. (1962). Sedjarah Ekonomis-Sosologis
Indonesia. Jakarta: Negara Pradnjaparamita.
C. Fasseur, (1975).
Kultuurstelsel en Koloniale Baten: De Nederlandse Exploitatie Van Java
1840-1860. Leiden: University Press.
Mulyana,Agus. (2006). KULI DAN ANEMER ; Keterlibatan Orang Cina
Dalam Pembangunan Jalan Kereta Api Di Priangan (1878-1924). Makalah disajikan dalam Konferensi
Nasional Sejarah Ke VIII yang dilaksanakan oleh Direktorat Sejarah dan Nilai
Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata Republik Indonesia, Jakarta 14- 17 November 2006.
Vlekke, Bernard.H.M,
(2008). Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.