Senin, 22 Desember 2014

PARADIGMA BESAR DALAM PENELITIAN

PARADIGMA BESAR DALAM PENELITIAN

Oleh:
Rinaldo Adi Pratama & Mira Silviani

Departemen Pendidikan Sejarah 
Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Universitas Pendidikan Indonesia

Post Positivisme à Comte, Mill, Durkheim, Newton (kualitatif)
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan  menolak aktivitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi semua berdasarkan pada data empiris. Post positivisme adalah lawan dari positivisme yang merupakan cara berfikir yang subjektif asumsi terhadap realitas.
Guba (1990:20) dalam Salim (2006) menjelaskan Postpositivisme sebagai berikut: “Postpositivism is best characterized as modified version of positivism. Having assessed the damage that positivism has occured, postpositivists strunggle to limited that damage as well as to adjust to it. Prediction and control continue to be the aim.”
Kutipan tersebut mempunyai arti Postpositivisme mempunyai ciri utama sebagai suatu modifikasi dari Positivisme. Melihat banyaknya kekurangan pada Positivisme menyebabkan para pendukung Postpositivisme berupaya memperkecil kelemahan tersebut dan menyesuaikannya. Prediksi dan kontrol tetap menjadi tujuan dari Postpositivisme tersebut.”
Salim (2006:40) menjelaskan Postpositivisme sebagai berikut: Paradigma ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan Positivisme yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologi aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi suatu hal, yang mustahil bila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu secara metodologi pendekatan eksperimental melalui metode triangulation yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori.
Dari pandangan Guba maupun Salim yang juga mengacu pandangan Guba, Denzin dan Lincoln dapat disimpulkan bahwa Postpositivisme adalah aliran yang ingin memperbaiki kelemahan pada Positivisme. Satu sisi Postpositivisme sependapat dengan Positivisme bahwa realitas itu memang nyata ada sesuai hukum alam. Tetapi pada sisi lain Postpositivisme berpendapat manusia tidak mungkin mendapatkan kebenaran dari realitas apabila peneliti membuat jarak dengan realitas atau tidak terlibat secara langsung dengan realitas. Hubungan antara peneliti dengan realitas harus bersifat interaktif, untuk itu perlu menggunakan prinsip trianggulasi yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, data, dan lain-lain. Dari penjelasan-penjelasan yang telah dipaparkan kami mengasumsikan bahwa paradigma post positivisme masuk dalam penelitian kualitatif.

Konstruktivisme Sosial à Lincon & Guba, Neuman (kualitatif)
Guba (1990:25) dalam Salim (2006) menyatakan: “But philosophers of science now uniformly believe that facts are facts only within some theoretical framework (Hesse, 1980). Thus the basis for discovering “how things really are” and “really work” is lost. “Reality” exist only in the context of mental framework (construct) for thinking about it.”
Kutipan tersebut mempunyai arti: kaum Konstruktivis setuju dengan pandangan bahwa penelitian itu tidak bebas nilai. Jika realitas hanya dapat dilihat melalui jendela teori, itu hanya dapat dilihat sama melalui jendela nilai. Banyak pengonstruksian dimungkinkan. Ini berarti menurut Guba penelitian terhadap suatu realitas itu tidak bebas nilai. Realitas hanya dapat diteliti dengan pandangan yang berdasarkan nilai.
Dari beberapa penjelasan Guba yang dikutip di atas dapat disimpulkan bahwa realitas itu merupakan hasil konstruksi manusia. Realitas itu selalu terkait dengan nilai jadi tidak mungkin bebas nilai dan pengetahuan hasil konstruksi manusia itu tidak bersifat tetap tetapi berkembang terus. Dari penjelasan di atas kami mengasumsikan bahwa paradigma konstruktivisme masuk dalam penelitian kualitatif.

Partisipasi à Habermas, Kemmis, Wilkinson (mix methods)
       Aliran advokasi/partisipatori/transformatif muncul pada tahun 1980-an dan 1990-an sebagai akibat dari ketidakpuasan terhadap paradigma penelitian yang ada dan kesadaran bahwa teori-teori sosiologi dan psikologi yang mendasari paradigma-paradigma yang ada pada dasarnya dikembangkan melalui pandangan ’kulit putih’, didominasi oleh perspektif kaum pria, dan didasarkan pada penelitian yang menggunakan pria sebagai subyek (Pardede, 2009). Peneliti advokasi/partisipatori/transformatif merasa bahwa pendekatan konstruktivisme/ interpretivisme tidak membahas isu-isu keadilan sosial dan kaum yang terpinggirkan secara memadai.
          Peneliti advokasi/ partisipatori percaya bahwa penelitian perlu dijalin dengan agenda-agenda politik dan politisi agar penelitian tersebut menghasilkan tindakan-tindakan yang mereformasi kehidupan partisipan, lembaga tempat individu hidup, dan kehidupan peneliti sendiri (Emzir, 2008: 16). Sehubungan dengan itu, penelitian harus mengangkat masalah-masalah sosial yang penting sebagai topik, seperti isu kekuasaan, ketidaksetraan, penganiayaan, penindasan, dan perampasan hak.
Peneliti advokasi sering memulai dengan menjadikan salah satu dari isu ini sebagai fokus penelitian. Kemudian, dia akan berjalan bersama secara kolaboratif dengan partisipan dengan pengertian partisipan dapat membantu merancang pertanyaan, mengumpulkan data, menganilisis informasi, atau menerima penghargaan untuk partisipasinya dalam penelitian.
    Sebagaimana halnya dalam penelitian konstruktivisme, peneliti advokasi/partisipatori/transformatif dapat mengkombinasikan metode penjaringan dan analisis data kuantitatif dan kualitatif. Namun, penggunaan pendekatan gabungan (mixed methods) akan memberikan kepada peneliti transformatif sebuah struktur untuk mengembangkan potret kehidupan sosial yang lebih utuh. Penggunaan berbagai perspektif memungkinkan diperolehnya pemahaman yang lebih beragam tentang nilai-nilai, pandangan dan keberadaan kehidupan sosial.


Pragmatis à Morgan, Patton (mix method)
Pragmatisme merupakan pandangan filsafat Amerika asli, namun berpangkal pada filsafat empirisme Inggris yang beranggapan bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami (Sadulloh, 2009 hlm.118). aliran pragmatisme beranggapan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan melihatkepada akibat-akibat atau  hasilnya yang bermanfaat secara praktis. istilah lain yang dapat diberkan dalam filsafat pragmatisme adalah instrumentalisme dan eksperimentalisme. Instrmentalisme karena menganggap bahwa tidak ada tujuan akhir dalam setiap kehidupan, apabila tujuan sudah tercapai maka dijadikan landasan  untuk mencapai tujuan berikutnya, selanjutnya eksperimentalisme karena menggunakan metode eksperimen dan berdasarkan atas pengalaman dalam menentukan kebenarannya.
Namun ajaran pragmatisme dalam filsafat dapat dilihat dari salah satu tokoh penggagasnya yakni William James apabila disimpulkan bahwa peneliti pragmatis bebas memilih metode, teknik, dan prosedur penelitian yang paling sesuai dengan kebutuhan dan tujuannya. Karakteristik ini menunjukkan bahwa pragmatism merupakan paradigma yang menyangga landasan filosofis studi metode gabungan (mixed-methods research).


Sumber referensi
Emzir. 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif & Kualitatif. Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa.
Pardede, Parlindungan. 2009. Paradigma penelitian. [online]. Tersedia: http://parlindunganpardede.wordpress.com/class-assignment/research/articles/paradigma-penelitian/. Universitas kristen indonesia.
Sadulloh, Uyoh. 2009. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Salim, Agus.2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogayakarta: Tiara Wacana.

2 komentar: